watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

Pengorbanan seorang ibu

"Nggak, Mbak Surti. Baru juga selesai keliling.
Duduk dulu Mbak, aku mandi sebentar" sahut
Jamal, salesman keliling yang setiap mampir ke
kota ini selalu memanggilku untuk memijatnya.
Ini kali yang keempat aku dipanggilnya. Jamal
masuk ke kamar mandi sementara aku duduk di
kursi melepas penat. Kuseka sekitar leher yang
berkeringat, kurapikan baju dan rok. Tak lama
kemudian Jamal keluar berbalut handuk. Tinggi
tubuhnya sekitar 170 cm lumayan kekar dan
berotot.
"Saya permisi cuci tangan ya, Mas," pintaku
sambil menuju ke kamar mandi.
"Silahkan, Mbak."
Selesai cuci tangan kudapati Jamal sudah
tengkurap di ranjang tanpa melepas handuknya.
Aku mendekat ke bagian kakinya.
"Tumben pakai handuk, Mas?" Tanyaku.
Biasanya Jamal pakai celana pendek atau CD.
"Anu Mbak, celanaku kotor semua. Tiga hari
keliling belum sempat nyuci Eee, biar lebih
gampang mijatnya, naik ke ranjang aja, Mbak"
kata Jamal.
Ranjangnya memang agak besar sehingga
susah dapat memijat dengan enak kalau tidak
naik. Aku naik ke ranjang dan berlutut di kiri
Jamal. Mulai memijat telapak kaki, terus naik ke
arah betis hingga paha. Ikatan handuk Jamal
yang agak kencang menutupi paha agak
menyulitkan memijat bagian itu.
"Maaf Mas, handuknya tolong dilonggarkan"
Jamal mengangkat perutnya dan membuka
simpul handuknya sehingga handuk itu sekarang
jadi longgar bahkan disisihkannya ke samping
kiri-kanan hingga seperti selimut yang menutup
pantat. Aku dapat merasakan di balik handuk itu
tidak ada apa-apa lagi yang dikenakan Jamal.
Jantungku, janda 40 tahunan ini, jadi berdegup
agak keras. Tapi aku coba tidak berpikir buruk
karena pernah tiga kali memijat Jamal dan pria itu
selalu sopan. Agak hati-hati kupijat bagian paha
dan pantatnya. Beberapa kali handuk itu tergeser
sampai kadang-kadang tak mampu lagi
menutupi. Beberapa kali pula kubetulkan letaknya
namun sempat pula terlihat pantat Jamal, bahkan
ceruk hitam di antara pangkal pahanya. Dadaku
jadi berdesir. Bagian pantat ke bawah selesai, lalu
kupijit bagian pinggang ke atas. Ia menggeser
lututnya.
"Kelihatannya cape sekali, Mas?" sapaku
mencairkan suasana diam.
"Iya Mbak. Sudah cape keliling, ordernya tambah
sedikit aja. Dagangan sekarang lagi sepi Mbak,"
jawab Jamal.
"Dagangan batik, Mbak sendiri gimana?"
"Sama saja, Mas. Sepi banget. Kalau nggak sepi
nggak bakalan saya jadi tukang pijit"
"Tapi pijitan Mbak enak lho"
"Ala Mas ini menghina. Saya kan cuma belajar
dari teman-teman"
"Bener lo Mbak, kalau nggak masak aku jadi
langganan Mbak Kalau malam sampai jam
berapa, Mbak?"
"Saya nggak terima pijit malam Mas. Pokoknya
sebelum maghrib sudah harus sampai rumah.
Saya nggak mau anak-anak saya tahu pekerjaan
sampingan ibunya. Mereka hanya tahu saya
jualan batik di pasar"
"Ooo kenapa mesti malu, Mbak?"
"Saya sih nggak malu, tapi kasihan kan kalau
anak-anak saya ketahuan teman-temannya
punya ibu tukang pijit? Sudah, sekarang balik
Mas"
Jamal memutar tubuhnya, tentu saja handuknya
ikut terlibat pantatnya sehingga nampaklah
bagian depannya yang polos. Beberapa saat
sempat kulihat zakar Jamal yang mulai tegang.
Buru-buru kubantu Jamal menutupinya, namun
tetap saja tonjolan itu membentuk
pemandangan yang bikin dadaku berdesir.
Bagaimana pun aku tetap wanita yang beberapa
tahun silam pernah melihat hal demikian pada
diri suamiku yang telah tiada. Dadaku berdegup
semakin cepat, tubuhku agak gemetar. Buru-
buru kukonsentrasikan pijatan pada kaki Jamal.
"Maaf, Mbak, adikku nggak mau tidur. Kalau lagi
dipijat wanita memang selalu gitu sih Mbak"
"Ah, nggak apa, Mas. Biasa laki-laki" Aku coba
bergurau.
Pemandangan demikian buat tukang pijit
perempuan memang bukan hal aneh lagi. Malah
kadang beberapa pria yang sudah tak bisa
menahan nafsu memegang tanganku dan
menempelkan pada batangannya. Tapi dengan
halus aku berusaha mengelak. Satu dua kali
kuremas benda di balik celana dalam itu tapi
setelah itu kulepaskan lagi.
"Waktu mijit apa pernah dijahilin laki-laki Mbak?"
"Kadang-kadang ada sih Mas laki-laki yang nakal"
"Nakal gimana, Mbak?"
"Yah, maunya tidak sekedar dipijit tapi juga mijit
hihihi"
"Lalu Mbak juga mau hehehe..?"
"Ah, enggaklah Mas, nggak baik. Takut"
"Apa ada yang pernah maksa Mbak?"
"Iya sih, kasar sekali orang itu. Aku dipeluk-
peluknya Ya aku marah dong"
"Apa dia sampai meng anu Mbak?"
"Nggak sampailah, Mas Saya buru-buru keluar
kamar"
Pijitanku sampai ke paha Jamal. Mau tak mau
bagian handuk yang menonjol itu selalu
terpampang di depan mataku. Malah kadang
tonjolan itu seperti sengaja digerak-gerakkan
Jamal. Lebih-lebih sewaktu tanganku bergerak di
sekitar paha dalamnya dan mengenai rambut-
rambut lebat di situ.
"Ufhh maaf, ya Mbak terus terang aku jadi
terangsang lo setiap dipijit Mbak, Adikku jadi
bangun terus" Jamal berterus terang tapi dengan
nada bergurau.
Hal ini membuatku tersenyum. Aku percaya pria
ini tidak bakal berbuat macam-macam, toh
sudah tiga kali kupijat tanpa kejadian luar biasa.
"Nggak apa, Mas. Asal bisa menahan diri saja.
Eh, maaf" tanpa sengaja tanganku menyenggol
telur dan sebagian penis Jamal sehingga pria itu
mendesis sambil mengangkat pantat dan
menegakkan adiknya sehingga handuknya
tergelincir ke arah perut. Batang keras kaku itu
segera saja membuat mataku agak terbelalak
karena ukuran panjang dan besarnya yang agak
luar biasa. Mungkin sekitar 20 cm dengan
diameter 3 cm. Cepat kututup dengan handuk
namun bayangan benda itu di benakku tak
kunjung hilang.
"Kalau aku nggak bisa nahan diri gimana, Mbak?"
"Jangan bikin saya takut ah, Mas" Aku menekan
dada Jamal dan mulai memijat ke arah pundak.
Mata kami bertatapan dan Jamal tersenyum. Aku
buru-buru menunduk.
"Sebenarnya Mbak nggak cocok jadi tukang pijit
lo"
"Kan sudah saya bilang ini terpaksa Mas, karena
dagang batik tambah sepi"
"Eh, Mbak, aku tanya serius nih, tapi maaf ya
sebelumnya"
"Tanya apa Mas?"
"Kalau Mbak lagi mijit laki-laki yang sedang
terangsang kayak aku gini, apa Mbak nggak ikut
terangsang?"
"Ah eh oh Mas ini kok tanya itu sih"
"Aku serius pingin tahu lho Mbak Soalnya Mbak
kan juga wanita yang masih butuh seks kan?
Apalagi Mbak sudah menjanda beberapa tahun"
"Sudah ah Mas, jangan tanya soal itu"
"Jujur sajalah Mbak Aku nggak yakin Mbak sudah
mati rasa sama seks. Iya kan?" Aku diam saja,
cuma pipiku terasa panas. Pijatanku di bagian
dada jadi melemah dan tanganku bergeser turun
ke perut Jamal.
"Iya kan, Mbak?" Mendadak Jamal semakin berani
dengan memegang kedua tanganku yang
sedang memijit perutnya. Kuangkat kepala dan
coba menentang tatapan Jamal sambil berusaha
menarik tangannya. Tapi pegangan Jamal begitu
kuat, jadi aku pilih diam.
"Akh aku malu Mas.."
"Malu kenapa Mbak?"
"Masak soal gituan dibicarakan sama Mas?"
"Nggak apa kan Mbak. Kita kan sudah sama-
sama dewasa." Jamal tetap memegangi tangan.
Aku diam saja dengan wajah menunduk. Pada
dasarnya aku memang pemalu.
"Mbak lihat sini dong"
"Kenapa, Mas?"
"Terus terang nih ya, aku pingin memeluk Mbak,
boleh nggak?"
Aku terjengak mendengar permintaan Jamal. Tak
mampu bersuara. Perlahan Jamal bangun dan
duduk mendekatiku, dipegangnya punggungku.
Katanya, "Sudah sejak pertama ketemu dulu aku
ingin sekali memeluk. Boleh kan, Mbak?"
Tanpa menunggu jawaban, Jamal semakin kuat
memeluk punggungku dan menarik ke arah
dirinya. Aku yang dalam posisi bersedeku jadi
kurang kuat bertahan sehingga mau tak mau
tubuhku tertarik ke tubuh Jamal. Hanya tanganku
saja yang coba menahan supaya tubuh tidak
terhempas ke tubuh Jamal.
"Jangan, Mas" Tapi aku tak berdaya menahan
ambruk tubuhku ketika Jamal kembali
menjatuhkan tubuhnya ke ranjang sambil tetap
memeluk. Tubuhku menimpa tubuhnya yang
segera menguncikan pelukan ke tubuh sintalku
tambah ketat. Wajah kami demikian dekat.
"Aku hanya ingin pelukan begini kok Mbak,"
Jamal berbisik dan ia memang tidak melakukan
apa-apa lagi selain memeluk tubuhku di atasnya.
Aku jadi bingung, mau berontak atau tidak?
"Ah, biarkan saja dulu, toh dia tidak melakukan
apapun selain memeluk" pikirku sambil berusaha
lebih santai. Toh aku pernah mengalami
perlakukan lebih kasar dari ini. Aku pernah
ditindih pria yang kupijat dan diremas-remas
tetekku. Beberapa lagi malah memaksaku
mengonani sampai pria itu terjelepak lemas
setelah ejakulasi. Perlakuan Jamal yang sekarang
ini hanya memelukku termasuk lembut. Entah
kenapa dengan pria ini aku tak banyak
memberontak. Apa karena aku diperlakukan
dengan halus? Atau karena aku menyukai Jamal?
Atau? Ah, tiba-tiba aku merasakan bibirku dingin
karena menyentuh sesuatu. Kubuka mata dan
ternyata Jamal tengah mencium bibirku.
Ufh aku segera menggelengkan kepala
menghindari bibir Jamal. Namun bibir pria itu
dengan gigih mengejar, bahkan tangan
kanannya ikut membantu menahan kepalaku
hingga tak bisa menggeleng lagi. Aku pilih
mengatupkan mulut dan mata rapat-rapat ketika
bibir Jamal menggerayangi. Lidah pria itu
berupaya menerobos masuk, tapi kutahan
dengan katupan gigi.
"Buka bibirnya dong, Mbak" bisik Jamal. Aku
menggeleng sambil berusaha mendorong
tubuhnya ke atas. Namun Jamal menahan
tubuhku dengan kuat malah sekarang kakinya
ikut melibat pahaku dan tubuhnya bangun
mendorong tubuh kenyalku sampai terbalik.
Sekarang gantian aku telentang sementara tubuh
polos Jamal di atasku. Bibir Jamal terus
memburu bibirku. Dengan posisi di bawah
ruang gerakku semakin sempit. Kecapaian
membuat perlawananku kendor.
"Jangan, Mas" bisikku lemah.
"Nggak apa-apa, Mbak, aku cuma ingin ciuman"
Desis Jamal sambil bibirnya terus memaksa
bibirku membuka, sementara lidahnya pun
menembus katup gigiku. Rasa takut, malu,
marah dan bingung melandaku. Aku takut Jamal
memaksa, memperkosaku. Aku juga malu
karena sebagai janda tidak seharusnya
diperlakukan begini. Aku ingin marah namun tak
berdaya dibanding tenaga Jamal. Aku jadi
bingung mau bertindak apa. Dadaku yang
membusung pun jadi sesak ditindih tubuh kekar
Jamal. Dengan nafas agak memburu, aku
akhirnya tak mampu lagi mempertahakan
katupan gigi. Kubiarkan lidah Jamal menerobos
menjilati langit-langit mulutku. Bibir kami
berpagutan semakin ketat. Air liur dan ludah pun
membanjir dan mau tak mau ada yang tertelan.
Jamal benar-benar menggila dengan ciumannya.
Sepuluh menit lebih ia mencium, menjilat,
menyedot lidahku tanpa lepas. Akibatnya, aku
jadi ikut terbawa iramanya. Aku yang janda ini
lama-kelamaan ikut mengimbangi tingkah Jamal.
Ya, aku yang melihat Jamal tidak melakukan hal
lain kecuali mencium, akhirnya membalas
ciuman hot Jamal.
"Ah, biarlah, toh Jamal hanya pingin berciuman.
Tidak lebih" pikirku sambil lidahku memasuki
rongga mulut Jamal, dan mendadak disedot
dengan kuat oleh Jamal seperti hendak
ditelan.aku jadi gelagapan.
Agak lama barulah Jamal melepaskan lidahku,
lalu beralih menciumi sekujur wajahku. Dari
mata, hidung, pipi, dahi, telinga, sekitar leher,
dagu sampai akhirnya balik lagi ke bibir manisku.
Selama setengah jam lebih aku hanya manda
saja diciumi pria yang menurutku tidak berniat
buruk ini. Ya, dibanding pria-pria lain yang
pernah memaksaku, Jamal tergolong lembut.
Dan entah kenapa, ada rasa suka dengannya.
Apa karena kegantengannya, apa karena usianya
yang masih muda, atau karena aku memang
butuh sentuhan lelaki setelah beberapa tahun ini
tak lagi kurasakan?Bahkan, aku hanya mendesah
"Jangan, mas" ketika merasakan jemari Jamal
mulai meremasi payudaraku yang masih
menantang ini. Namun aku tak berusaha
memberontak. Toh Jamal hanya meremas dari
luar, pikirku. Sementara bibir pria itu terus
melumati bibirku. Tangan itu terus bergerilya,
satu persatu kancing bajuku dilepasnya.
"Jangan, mas" Desisku lagi tanpa menolak
dengan serius.
Toh, aku masih pakai BH, pikirku. Ugh, BH
itupun diremas tangan Jamal berkali-kali. Kadang
membuatku sakit, namun juga memberi rasa
lain yang nikmat. Mataku malah terpejam erat
ketika jemari Jamal bergerilya di bawah BH dan
menggapai putingku.
"Egh jangan, mas" Aduuh nikmatnya. Toh, dia
hanya memainkan payudaraku, tak apa-apa,
pikirku semakin menikmati. Aku justru hampir
tak merasa ketika baju dan behaku sudah
dilempar Jamal entah kemana.
Yang terasa kemudian adalah payudaraku kiri-
kanan bergantian diremas dan dihisap Jamal.
Digigit-gigit, dikemot, disedot, "dimakan",
dimainkan putingnya oleh lidah yang lihai dan
tubuhku semakin tergial-gial ketika perut pun
ditelusuri lidah berbisa Jamal.
"Aduh, aku tak tahan. Tak apa, toh Jamal hanya
menjilati perutku" pikirku lagi menerima
perlakuan nikmat itu.
Malah tanganku kini ikut meremasi kepala Jamal
yang terus turun dan turun mencapai pusarku.
Menjilati pusarku yang berlubang kecil, kemudian
meluncur turun lagi, membuat geli sekaligus
nikmat.
"Jangan, mas" lagi-lagi aku hanya mampu
mendesiskan kata itu ketika terasa rok panjangku
perlahan tertarik ke bawah.
Karet elastis di bagian perut tak mampu
menahan tarikan itu, apalagi aku berpikir,
"Biar saja, toh aku masih pakai celana dalam"
Sekarang tinggal segitiga pengaman melekati
tubuh polosku. Terasa pahaku dikangkangkan
dan sesuatu terasa mengelus-elus daerah vitalku.
Sesaat kemudian aku kembali merasa tubuhku
ditindih Jamal yang menekan-nekankan penisnya
ke CD-ku. Mulut kami berpagutan lagi. Tangan
Jamal meremas-remas payudara lagi.
"Aduh aku tak tahan lagi" Kubalas perlakuannya
yang liar dan aku tak mampu lagi mendesis,
"Jangan, mas" ketika dengan cepat tangan Jamal
menyabet CD hitamku dan melorotkannya ke
bawah terus melepasnya dari kakiku.
Lalu sejurus kemudian kurasakan sesuatu yang
panjang besar memasuki gua garbaku. Mula-
mula perlahan dan agak sulit, menyakitkan.
Namun lama-lama semakin dalam, lalu semakin
cepat dan cepat keluar masuk, naik turun.
Disertai lonjakan-lonjakan tubuh kekar di atasku
yang memaksa pahaku terkangkang selebar-
lebarnya. Rasa sakit pun berubah jadi nikmat.
Aku lupa segalanya, tak ingat siapa pria yang
sedang menyetubuhiku. Jamal, salesman keliling,
yang katanya berasal dari Bandung kubiarkan
menyebadani, menggauli, menyenggamai,
menembus, mengocok dan menggumuli
tubuhku. Aku terlena dan yang ada hanya rasa
nikmat yang harus kunikmati sepuasnya.
Mumpung ada kesempatan, mumpung ada
yang memberi, mumpung aku butuh,
mumpung aku haus, mumpung ada yang
memuasiku. Tubuhku masih butuh seks,
libidoku masih tinggi, bibirku masih butuh
diciumi, payudaraku butuh disedot-sedot,
vulvaku butuh penis yang tegar panjang
perkasa. Aku masih punya nafsu seks yang
harus dipenuhi. Aku tak mau hidup gersang.
Dan, aku pun masih bisa orgasme ketika
hunjaman zakar Jamal yang bertubi-tubi
mencapai klimaks. Genjotan pantatnya begitu
kuat membuat penis itu terbenam dalam-dalam
di vulvaku yang sempit. Nikmat bertemu nikmat
dan jreet jreet jreet kurasakan sperma Jamal
menyemprot, sementara hampir bersamaan aku
cepat-cepat menggamit paha Jamal sambil
mengejan menumpahkan mani. Tubuh kami
terkejang-kejang kelojotan sambil mengejan
menggelegakkan sperma dan mani bertubi-tubi.
Kedua kelamin kami yang bertemu saling
berdenyut-denyut, meninggalkan kesan
mendalam sehingga kami lama tidak
melepaskannya. Kubiarkan burung Jamal itu
tetap mendekam di sarangku meski lendir
membasahi di mana-mana.
"Maaf ya, mbak, aku lupa diri," bisik Jamal.
Aku diam memejam, nafasku tersengal-sengal
menahan beban tubuh polos di atasku.
Sementara penis Jamal masih terbenam, aku
hanya bisa kangkangkan paha dan merasakan
denyut-denyutnya yang masih tersisa.
"Mengapa ini terjadi?"
Aku membatin tak habis mengerti bagaimana
persetubuhan ini berlangsung begitu saja,
padahal selama jadi pemijat aku selalu
menghindarinya. Ya, selama ini ada cap bahwa
setiap wanita pemijat pasti bisa diajak main seks.
Aku berusaha keras menepis sebutan itu, namun
akhirnya bobol juga hari ini. Justru dengan
Jamal, pria yang sudah jadi langganan.
"Kalau sudah begini, apa bedanya aku dengan
pelacur?"
Aku masih terbengong-bengong dengan
pemikiranku, ketika kembali terasa tubuh Jamal
menekan-nekanku. Zakar pria itu pun kembali
membesar panjang mengaduk-aduk vulvaku.
Ya, ternyata Jamal dengan cepat bangkit birahiya
lagi dan bangunlah "adik"nya yang perkasa itu,
kembali menikam-nikamku yang perlahan-lahan
kembali terbawa arus kenikmatan. Malah ikut
mengerang ketika nikmat bersebadan itu
menyeruak di vaginaku. Tak ingat lagi, apakah
aku pelacur atau bukan. Yang penting saat ini aku
butuh nikmat! Persenggamaan pun terulang lagi,
kali ini malah lebih lama. Hampir satu jam Jamal
menusuk-nusukku, menghunjamiku dengan
super torpedonya. Kadang pantatku diangkatnya
atau aku yang mengangkatnya secara refleks
karena terbawa nikmat tiada tara setelah
beberapa tahun aku tak merasakannya.
Sepertinya aku ingin memuntahkan seluruh
kerinduan persetubuhan.
Aku kembali menggapit paha Jamal, ini kali yang
ketiga aku orgasme. Tubuhku mengejang
terlonjak-lonjak. Jamal sendiri memang tahan
lama dan baru beberapa menit kemudian
melenguh mengeluarkan energi terakhirnya
menyemprotkan sperma. Sampai kurasakan
hangat cairan itu memasuki perut. Kami benar-
benar habis-habisan. Untuk berdiri pun harus
menunggu beberapa menit setelah deru nafas
mereda.
Jam enam kurang sedikit kutinggalkan hotel
Melati. Jalanku seperti melayang, tak peduli dua
lembar ratusan ribu yang baru saja masuk ke
dompet, pemberian Jamal. Aku tak bisa
menolak, tapi "Semoga Jamal tidak
menganggapku pelacur murahan" pikirku.
"Kami melakukannya suka sama suka"
Kupanggil becak untuk mengantar ke rumah.
Itulah yang menjadi awal kisahku selanjutnya
yang lebih mengejutkan karena aku kemudian
terperosok ke jurang perzinahan yang lebih
dalam dengan orang-orang yang semestinya
kupeluk dengan kasih sayang. Namun,
sebaliknya, justru merekalah yang akhirnya
memelukku dengan nafsu.
*****
"Sampai malam begini, Laris bu?" sambut Bari,
bungsuku yang kelas 3 SMU, ketika aku tiba di
rumah.
"Lumayan" jawabku.
"Ini Ibu bawakan gorengan" kuberikan
sebungkus makanan lalu terus berjalan ke
kamar.
Banu, kakak Bari, mengangkat bungkusan
batikku dan menaruhnya di atas lemari. Ia sudah
empat bulan ini dipehaka dari pabrik sepatu di
Tangerang bersama Basuki kakaknya. Jadilah tiga
pemuda tanggung anakku sekarang jadi
pengangguran dan kembali bergantung padaku
di rumah. Ya, semuanya terjadi gara-gara krisis
di negeri ini. Banyak perusahaan gulung tikar,
pehaka terjadi dimana-mana. Cari pekerjaan
pengganti juga sulit bukan main. Mau usaha
sendiri, tak ada modal. Hanya kadang mereka
jadi makelar jual-beli motor tapi inipun hasilnya
cuma cukup buat jajan.
Seusai mandi dan makan, aku ingin cepat-cepat
tidur. Tubuh cape sekali setelah tadi bertempur
habis-habisan dengan Jamal di Hotel Melati.
"Ibu tidur dulu ya" kataku pada ketiga anakku
yang sedang asyik main kartu.
Aku masuk ke kamar belakang. Rumah itu
memang hanya memiliki dua kamar. Sejak dua
anakku dipehaka maka satu kamar depan untuk
Banu dan Basuki dan satunya di belakang
untukku dan Bari. Kumatikan lampu lalu
kubaringkan diri melepas penat.
Bayangan pergumulanku dengan Jamal ternyata
tak kunjung hilang dari benak. Setengahnya ada
rasa penyesalan, namun sebagian lain justru
rasa nikmat itu terus bergelenyar di dadaku, di
peruku, di kulitku, di vulvaku. Tak lama
kemudian aku pun terlelap, ada seulas senyum
di bibirku. Akankah di mimpi aku berjumpa
Jamal lagi?
Ya, ternyata harapanku jadi kenyataan. Jamal
muncul lagi di mimpiku. Kami bercumbu bagai
sepasang kekasih yang lama tak bertemu. Tubuh
telanjangku dibaringkannya di ranjang,
kemudian dia merangkak di atasku. Menjilati
sekujur tubuh dari perut naik terus hingga
bibirku dan akhirnya agh, terasa sesuatu
menusuk bawah perutku dengan keras dan
tubuhku ditekannya dengan keras. Tubuhnya
terasa semakin berat, berat, berat dan argghh!
Aku terbangun, dan.. mendapati sesosok tubuh
sedang menindihku. Kurasakan selangkanganku
telah ngangkang dan sesuatu memasukinya.
Kubuka mata memperhatikan dan dalam sinar
lampu yang masuk dari ventilasi terlihat Bari
sedang menyetubuhiku! Gila!!
"Bar! Bari! Ini aku, ibumu, Bar!" protesku pada
bungsuku yang masih 18 tahun sambil
mendorong tubuhnya sampai terjengkang ke
luar ranjang. Sekilas terasa penisnya yang
tegang keluar dari vaginaku. Aku segera duduk
di ranjang dan kututup tubuh telanjangku
dengan selimut sambil memperhatikan Bari yang
nampak ketakutan.
"Kenapa kau lakukan ini, Bar?" tanyaku emosi.
"Ttt ta tadi Ibu sendiri yang mulai"
"Apa? Ibu yang mulai?!" aku tambah sewot tapi
tidak berani teriak keras-keras takut dua anakku
yang lain terbangun.
"Bukankah Ibu tadi sudah tidur?"
"I..iya Bu tapi Ibu seperti mengigau lalu
memelukku" bisik Bari.
Aku yang mendengar penjelasannya jadi
mendelong. Sekilas aku ingat mimpiku bersama
Jamal.
"Ibu terus memelukku dan ak aku jadi
terangsang, bu.." Bari terus terang sambil
menunduk. Sementara aku masih bertanya-
tanya benarkah itu?
"Ceritakan apa yang sudah kulakukan padamu,
Bar?" Sambil kutarik tangannya ke atas ranjang.
Bari menurut sambil menutupi penisnya dengan
sarungnya. Kududukkan ia di sebelahku.
"Waktu aku tidur, kudengar Ibu mengigau
seperti orang gelisah dan tubuh Ibu bergerak-
gerak. Lalu mendadak Ibu memelukku dan" Bari
diam, aku pingin tahu kelanjutannya.
"Lalu?"
"Ibu menciumi aku"
"Apa benar?"
"Sumpah, bu." Jawabnya, membuatku jadi salah
tingkah.
"Sebenarnya aku sudah berusaha
membangunkan Ibu tapi gagal. Malah aku jadi
terangsang Apalagi daster Ibu juga tak karuan
lagi letaknya sampai paha Ibu terbuka""Aku tambah terangsang waktu tersenggol
payudara Ibu berkali-kali dan terangsang untuk
meremasnya Aku tambah berani ketika Ibu
hanya mendesis waktu kuremas, sampai
akhirnya pelan-pelan, maaf, Ibu kutelanjangi.
Maaf Bu, nafsuku, sudah sampai ke kepala
sampai aku menyetubuhi Ibu" cerita Bari sambil
menunduk.
Aku terdiam, tak percaya apa yang kulakukan di
dalam mimpi ternyata jadi kenyataan. Sialnya,
aku telah bersetubuh dengan darah dagingku
sendiri. Akhirnya akupun menerima penjelasan
Bari.
"Baiklah, Bari. Ini jadi rahasia kita berdua saja.
Sekarang tidurlah kembali," pesanku.
Bari segera melingkar di bawah sarungnya.
Akupun kembali berbaring sambil berselimut.
Kami berdiam diri saling memunggungi. Begitu
mengejutkan peristiwa tadi sampai aku tak ingat
untuk memakai dasterku lagi yang entah
dilempar kemana. Begitu pula Bari hanya
bertelanjang di dalam sarungnya. Namun rasa
capai mempercepat tidurku. Dan, mungkin,
inilah salahku karena menganggap sepele
peristiwa ini. Aku menganggap ini peristiwa kecil
dan sudah berakhir, namun tidak demikian
dengan Bari. Pemuda tanggung ini ternyata tetap
memendam hasrat. Kuceritakan yang berikut ini
berdasarkan pengakuannya setelah segala
sesuatunya terjadi.
Malam masih panjang. Aku telah tidur kembali.
Sementara itu, Bari justru tetap nyalang
matanya. Tak ada lagi kantuk di benaknya. Yang
ada justru ingatan bagaimana tadi dia baru saja
menyetubuhi ibunya. Sayang, belum tuntas.
Namun, kesempatan itu kayaknya masih
terbuka, karena tubuh yang barusan digelutinya
itu masih tergolek di sisinya. Telanjang dan
hanya berselimut lurik. Andai saja selimut itu
bisa dilepas, pasti bisa tuntas hasratku, pikir Bari.
Setelah terdengar dengkur halus ibunya, Bari
mulai berani membalikkan tubuhnya sampai
telentang. Diliriknya tubuh di samping kirinya
dan tubuh Bari bergetar ketika melihat sebagian
punggung atas ibunya tidak tertutup selimut.
Sementara kain sarungnya sendiri yang hanya
menutupi sekitar perut dan paha tak mampu
menyembunyikan gejolak syahwat yang
membuat zakarnya tegang berdiri. Dengan tak
sabar dilemparnya sarung ke bawah ranjang
hingga dirinya bugil, lalu perlahan berguling lagi
sampai ia kini menghadap punggung ibunya.
Didekatinya tubuh bungkuk udang ibunya dari
belakang sampai bau wanita itu tercium kian
merangsangnyaIngatannya saat bagaimana dia
meremas tetek ibunya tadi membuatnya berani
menarik ke bawah selimut yang menutupi
punggung mulus itu. Perlahan punggung itu
sekarang terbuka sampai ke pinggang dan
otomatis pasti bagian depannya pun terbuka
polos pula. Teringat bagaimana tadi ia memeluk
ibunya, perlahan Bari melingkarkan tangan
memeluk ibunya dan merapatkan zakar ke
pantatnya. Kulit dadanya bertemu kulit
punggung ibunya, tangan kanannya memeluk
perut ibunya dan perlahan jemarinya merambat
ke atas. Menggapai dua gunung kembar yang
membusung itu.
Sementara itu kaki Bari tak tinggal diam
membantu menarik selimut ibunya ke bawah.
Terus ke bawah sampai paha-paha mulus
gempal itu tak tertutup lagi. Maka bugillah kedua
ibu dan anak itu. Tidur berdekapan. Satu terlelap,
satunya bernafsu.
Tak sabar, Bari mulai mengelus dan meremas
pelan payudara montok mulus itu. Tangannya
agak gemetar ketika menyentuh puting dengan
ibu jari dan telunjuknya. Ditempelkan zakar ke
pantat ibunya yang cukup besar. Dibiarkannya
posisi itu bertahan hampir 30 menit. Dan ketika
ibunya tetap lelap tertidur, Bari semakin berani.
Sambil pura-pura menggeliat, perlahan
ditariknya bahu dan paha ibunya sampai tubuh
wanita itu telentang. Kemudian dengan penuh
nafsu buah dada yang menggunduk itu
dijilatinya. Dikuaknya selangkangan si ibu lalu
perlahan mengarahkan zakar ke gua nikmat itu.
Tak mau gegabah dan terlalu kasar seperti tadi,
kini Bari melakukannya dengan halus.
"Bleess" ditancapkan zakar dalam-dalam ke
vagina ibunya lalu pantatnya diam. Tidak
menekan terlalu keras. Malah lidahnya mulai
menyusuri tetek dan dada ibunya sampai
mencapai bibir dan menciuminya sambil
tangannya meremasi susu montok itu. Aneh
benar, Surti, ibunya, tetap tertidur, seolah tak
merasakan apa-apa. Mungkin ia terlalu penat
karena cape bergelut dengan Jamal tadi siang
dan tidur yang terpotong barusan.
"Eeehhghh.." Surti mendesis lirih ketika lidah Bari
memasuki mulutnya, namun matanya tetap
terpejam. Hanya tubuhnya saja bergeser kecil
dan Bari memberinya ruang dengan sedikit
mengangkat badannya sehingga tidak terlalu
memberati Surti. Setelah ibunya tenang, kembali
Bari menumpangkan badan di atas tubuh bugil
Surti. Perlahan ia mulai memompakan zakarnya.
"Shleeb.. shlebb.. jleeb.. jleebb.." berhenti lalu
sambil menekankan zakarnya di kemutnya
puting Surti.
"Egghh eggh..," desis Surti sambil
menggerakkan tubuhnya sedikit namun tetap
tidur.
Anehnya lagi, Bari merasa zakarnya seperti ada
yang menghisap-hisap. Nikmaat dan
membuatnya cepat mencapai puncak. Buru-
buru Bari memompa lagi cepat-cepat, dan kini ia
tak peduli kalau ibunya bakal bangun karena
gerakan kasarnya.
"Heeh.. heeh.. heeh.." nafas Bari memburu ketika
ia menggerakkan pantatnya dengan gencar naik
turun keluar masuk menusuk-nusuk lahan Surti
sambil memeluki ketat tubuh ibunya itu dan
mencium ketat bibirnya yang menggairahkan.
Otomatis diperlakukan demikian Surti terbangun,
namun terlambat Dalam keadaan belum sadar
benar, mendadak Surti merasakan tubuh di
atasnya mengejang-ngejang belasan kali dan
terasa semprotan-semprotan sperma di
rahimnya. Barulah tubuh itu terjelepak layu
menindihnya.
Surti segera mendorong tubuh itu dan ia segera
sadar bahwa Bari telah berhasil menuntaskan
nafsu di atas tubuhnya.
"Ooh Bari.. Bari kenapa kamu tega menodai ibu?"
ratap Surti sambil menangis dan memukuli
tubuh Bari yang hanya diam membisu
memunggunginya. Beruntung suasana kamar
gelap sehingga mereka tidak dapat melihat
kondisi masing-masing. Bayangkan betapa malu
bila mereka saling bertatapan mata.
"Ma.. maafkan saya, bu. Sss..saya benar-benar
khilaf tidak bisa menahan nafsu" jawab Bari lirih.
Pelan ia berbalik dan menyelimuti tubuh
telanjang Surti. Kemudian turun dari ranjang,
memakai sarungnya dan melangkah keluar
kamar. Dicarinya air dingin di dapur.
Surti sendiri dalam isak tangisnya kembali
merebahkan diri. Tak tahu harus berbuat apa
pada anak bungsunya itu. Mau dimarahi? Toh ini
sudah terlanjur terjadi. Mau diusir dari rumah? Ia
tak tega. Ia menyesali dirinya telah tertidur begitu
pulas sampai tak merasa sedang disetubuhi anak
kandungnya sendiri. Kenapa ia tadi begitu
ceroboh dan menganggap sepele kejadian
perkosaan yang pertama? Sampai tak
memperhitungkan bahwa Bari ternyata nafsunya
tetap berkobar-kobar. Pemuda seumur Bari
memang sedang panas-panasnya. Nafsunya
cepat naik. Apakah sebaiknya mereka tidak tidur
seranjang? Bari biar tidur dengan kakaknya saja.
Tapi ranjang kamar depan terlalu sempit untuk
bertiga. Apakah ia perlu tukar tempat dengan
Banu?
Namun setelah memikirkan bahwa Banu pun
mungkin juga akan terangsang nafsunya bila
tidur bersamanya (ini nampak dari bahasa tubuh
Banu dan Basuki, si sulung, yang selama
dirantau menurut dugaan Surti pasti pernah
berhubungan dengan wanita) maka Surti
memutuskan tetap tidur sekamar dengan Bari.
Biarlah kejadian ini hanya kami berdua yang
tahu, pikirnya. Setengahnya ia juga menyalahkan
diri karena telah merangsang Bari secara tak
sengaja ketika tadi mimpi bersetubuh dengan
Jamal.
Sambil merenung-renung kejadian yang
menimpa dirinya dan Bari, Surti mulai bisa
memaklumi tindakan Bari. Ternyata anak
bungsuku sudah dewasa dan mampu
melakukan kewajibannya sebagai lelaki,
bathinnya. Perlahan mata Surti kembali
terkantuk-kantuk. Masih sekitar jam 2 dini hari.
Sementara itu Bari yang usai minum air dingin
duduk melamun di dapur, mengenang apa yang
baru saja dilakukan atas tubuh ibunya. Barusan
ia juga telah mencuci zakarnya dengan air dingin
sampai benda lunak itu mengkerut lagi. Rasa
kantuk yang menyerang membuatnya beranjak
kembali ke kamar tidur.
"Biarlah kalau ibu mau marah lagi," pikirnya
pasrah.
Perlahan Bari membuka pintu, masuk lalu
menutupnya lagi. Ternyata Surti telah tidur
kembali. Kali ini ia malah telentang dan lagi-lagi
hanya berselimut lurik. Bari mengambil sedikit
tempat di pinggir untuk merebahkan tubuhnya.
Sekilas diliriknya wajah ibunya dalam gelap,
hanya nampak siluet wajah seorang wanita yang
belum tua benar. Namun tetap menarik.
Bari coba memejamkan mata dan tidur. Tanpa
sadar ternyata ia juga tidur hanya berbalut
sarung yang melingkari bagian perut ke
bawah.Cukup lama pemuda tanggung ini
berusaha tidur sewaktu tanpa diduga Surti
mengerang dan menggeliat ke arah dirinya. Bari
gelagapan ketika tangan Surti justru
memeluknya.
Dan tubuh Bari kembali berdesir karena dada
montok ibunya menekan dadanya meski masih
terhalang selimut. Ini merupakan rangsangan
hebat buat Bari, namun ia tak mau gegabah
seperti tadi. Ia tak mau kejadian tadi terulang.
Maka ia harus mampu menahan nafsunya. Kami
boleh pelukan tapi zakarku tak boleh tegang,
bathinnya. Dengan prinsip itu akhirnya Bari
memberanikan diri balas memeluk ibunya. Malah
lebih dari itu, lagi-lagi Bari melempar sarungnya
yang mengganggu gerakan paha dan kakinya
sampai bugil. Perlahan ia masuk ke dalam
selimut ibunya dan balas memeluk tubuh bugil
montok semok itu. Ibu dan anak itu pun tidur
berpelukan. Kali ini Bari hanya menempelkan
zakarnya di paha Surti dan bertahan sekuat
tenaga supaya tidak ereksi. Beruntung matanya
terasa sangat berat sehingga tak lama kemudian
ia pun tertidur berpelukan dengan ibunya.
Udara panas dini hari itu membuat tubuh
mereka berkeringat. Sekitar pukul empat pagi,
seperti kebiasaannya, Surti terbangun. Lagi-lagi ia
hampir terkejut mendapati dirinya telanjang
berpelukan dengan Bari yang bugil. Selimutnya
tak cukup lebar menutupi tubuh mereka berdua
hingga yang tertutup praktis hanya sekitar
pinggul saja, sedangkan bagian lain benar-benar
terbuka. Surti ingin mendorong tubuh Bari,
namun ia segera menyadari bahwa Bari saat itu
sedang tidur nyenyak. Ia jadi tak tega sehingga
dibiarkannya posisi tubuhnya yang telentang
sementara Bari menindih sambil memelukkan
tangan dan satu kakinya berada di sela-sela paha
Surti. Surti agak tenang karena tidak merasakan
zakar Bari ereksi.
Yang menggelisahkan justru tangan Bari yang
menelangkupi buah dada kirinya serta
ketelanjangan mereka. Bagaimanapun ia masih
normal dan gesekan kulit dengan kulit demikian
malah menimbulkan rangsangan yang perlahan
menggelitikinya syahwatnya. Surti semakin tak
tahan dan berusaha menggeser tangan serta
menjauhkan tubuh Bari perlahan agar ia tak
bangun.
"Eee," terdengar suara erangan Bari yang merasa
tidurnya terganggu.
Ia malah tak mau melepaskan pelukannya, justru
sedikit meremas buah dada Surti, membuat
Surti mendesis.
"Bari, lepaskan Ibu mau bangun" bisik Surti ke
telinga Bari sambil mendorong lebih kuat.
"Eee.. sebentar, Bu" desis Bari sambil
mempererat pelukannya, menaikkan tubuhnya
dan mengulum puting Surti.
"Sudahlah, Bari jangan diulang kejadian
semalam" Surti menjangkau kepala Bari sambil
menggigit bibir menahan gejolak syahwat yang
berputar di pusarnya.
"Ibu tidak marah?" desis Bari lagi dengan mata
masih setengah terpejam.
"Tidak, Bar sekarang sudahlah, nanti kamu
terangsang lagi" Perlahan Bari menggeser
tubuhnya menjauhi ibunya. Ia melanjutkan
tidurnya, sementara Surti segera bangun,
mencari dasternya yang tercecer di lantai dan
mengenakannya sebelum beranjak keluar
kamar. Sekilas diliriknya tubuh bugil Bari.
"Ia ternyata sudah dewasa" bathinnya.
Dan, sejak itulah saat-saat tidur bersama
seranjang dengan Bari mulai memasuki babak
baru. Surti tak mampu menolak manakala Bari
dengan manja memeluknya, menindihnya,
bahkan dengan nakal meremasi teteknya atau
malah memaksa Surti membuka dasternya dan
menetek seperti anak kecil. Bagi Surti sendiri
pelukan, tindihan, kuluman dan hisapan-hisapan
Bari di sekujur tubuh dan buah dadanya
sungguh merupakan rangsangan yang sulit
dihindari. Ia tak mampu menolak itu semua,
bahkan seolah memberi izin Bari melakukannya
setiap malam. Ya, setiap malam kini ia harus
menerima perlakukan seksual Bari yang tak kenal
lelah. Pemuda tanggung yang tengah panas-
panasnya ini seperti mendapat mainan baru
yang menggairahkan.
Kini Bari tak segan lagi bertelanjang di depan
ibunya, bahkan seringkali ia ikut menelanjangi
Surti hingga hanya tersisa CD. Bari tak segan lagi
menyuruh Surti memegang zakarnya dan
mengocoknya. Sementara tangannya sibuk
memerah tetek Surti bahkan tak jarang coba
mengelus-elus lubang nikmat Surti meski dari
luar CD. Merasa sudah kepalang basah, Surti pun
menikmati permainan seksual itu meski ia masih
menjaga agar gua garbanya tak lagi ditembus
zakar Bari. Ia menjepit zakar Bari dengan
pahanya dan membiarkan sperma perjaka itu
muncrat di luar atau di perutnya. Bahkan
akhirnya Bari memaksa Surti mengulum zakar
tegang itu dan menerima muntahan lahar panas.
Mula-mula dimuntahkannya tapi lama-lama
justru dinikmati dan ditelannya. Ibu dan anak ini
akhirnya saling belajar memuasi dan dipuasi.
Tak tahan, Surti mulai mengajari Bari memuasi
dirinya pakai tangan dan akhirnya pakai lidah.
Bari yang semula jijik, lama-lama terbiasa juga
menjilati lubang sempit bergelambir milik Surti.
Biji kelentit dan daerah G-spot merupakan
kenikmatan tersendiri bagi Surti. Sampai ia
kadang orgasme. Mereka berdua kemudian
malah setiap malam tidur telanjang berpelukan,
dan akhirnya Surti juga mengizinkan Bari
menancapkan zakar ke vaginanya. Bari sudah
cukup bisa menahan diri untuk tidak
mengeluarkan sperma di dalam vagina Surti
setelah diberitahu kemungkinan kehamilan bila
spermanya masuk ke rahim. Ya, selama
beberapa minggu, tanpa sepengetahuan
siapapun, mereka bagai dua pengantin baru
yang asyik dilanda nafsu. Berpacu mengumbar
birahi, tak peduli merupakan hubungan incest.
Bari yang masih muda begitu semangat dengan
kegiatan seksual mereka sementara Surti yang
sudah lama tidak merasakan belaian laki-laki ingin
kerinduannya dipuasi. Nafsunya belum padam.
Berbagai gaya mereka lakukan, dari yang
konvensional sampai gaya anjing kimpoi, 69,
sambil duduk berhadapan atau Surti di pangkuan
Bari dan seterusnya. Pokoknya nikmat dan
uenaak tenaanSampai di suatu pagi sekitar jam 6
pagi Surti merasa tubuhnya sedang digerayangi
Bari, padahal ia merasa masih sangat mengantuk
setelah semalaman bertempur seru sampai dini
hari. Dibiarkannya Bari merenggangkan pahanya
dan untuk kesekian kalinya menelusupkan zakar
tegangnya lalu mulai mengocoknya. Keras, cepat
dan semakin cepat seperti terburu-buru Bari
mengayun pantatnya. Ia ingin menyalurkan
nafsunya yang muncul di pagi hari, sementara
jam tujuh ia juga harus masuk sekolah.
Genjotan Bari yang sedemikian keras lambat laun
juga merangsang Surti menggapai nikmat di
pagi itu. Sayangnya selagi Surti baru mencapai
tahap pemanasan, mendadak tubuh Bari sudah
terkejang-kejang lalu buru-buru ia mencabut
penisnya dari lubang nikmat ibunya serta merta
menyemprotkan sperma dengan deras ke perut
ibunya. Disusul mengoser-oserkan zakar tegang
itu ke seluruh dada hingga berakhir di jepitan
tetek Surti.
Vagina Surti masih berdenyut-denyut ingin
dipuasi ketika Bari sudah meloncat keluar kamar
untuk bersiap ke sekolah. Tinggallah Surti sendiri
kecewa sambil mengelus-elus vagina dan
meremasi teteknya sendiri. Nafsunya belum
tuntas! Bari egois, hanya mau memuasi dirinya
saja, tak peduli ibunya kelojotan menahan nafsu.
Baru sekitar jam tujuh pagi Surti bangkit
mengelap noda-noda di badan dengan CD-nya
lalu mengenakan dasternya dan merapikan
ranjang yang hampir tiap hari harus ganti sprei
karena penuh bercak sperma dan mani mereka.
Dibawanya sprei dan pakaian kotor ke tempat
cucian, direndamnya dan ditaburi deterjen
bubuk.
Terdengar ada yang sedang mandi, pasti Banu
pikir Surti. Banu, kakak Bari, termasuk rajin cari
tambahan penghasilan. Meski kadang pulang
dengan tangan hampa tapi ia selalu rajin bangun
pagi, mandi lalu pergi entah kemana. Cari
obyekan, katanya setiap ditanya.
Pintu kamar mandi terbuka, Banu muncul.
"Mau kemana Nu?" tanya Surti.
"Cari motor, Bu. Kemarin ada teman cari motor
bekas yang murah-murahan. Moga-moga
motor Pak Panut belum dijual."
"Rumah Pak Panut agak masuk ke desa kan?"
"Iya, Bu, saya tahu. Paling nanti sampai sore
baru pulang"
Sementara Surti menjemur pakaian, terdengar
Banu pamit mau pergi.
"Saya pergi ya, Bu!" serunya.
"Ati-ati ya Eh, Basuki dimana?"
"Biasa, belum bangun, Bu" jawab Banu sambil
keluar rumah. Pintu rumah ditutupnya. Selesai
menjemur pakaian, Surti lalu mandi, dicucinya
sekalian daster yang dipakainya. Seusai mandi ia
hanya berbalut handuk menutupi payudara
hingga pahanya, menjemur pakaiannya.
Melangkah masuk ke rumah, dilihatnya Basuki
duduk bersarung dan telanjang dada di kursi
makan, melamun. Pandangannya kosong. Surti
kasihan juga melihat sulungnya yang 25 tahun
itu tak juga kunjung bekerja lagi.
"Sudahlah Bas, jangan melamun terus" bujuk
Surti sambil mengambilkan segelas teh.
Diangsurkannya teh itu kepada Basuki, kemudian
dijangkaunya kepala Basuki dan dielus-elusnya
seperti kebiasaannya waktu kecil dulu. Basuki
memejamkan mata dan mendadak tubuhnya
seperti menggigil.
"Kamu kenapa Bas?" tanya Surti heran melihat
putranya.
Dan lebih terkejut lagi ketika tiba-tiba Basuki
bangkit dan berbalik memeluki dirinya seperti
orang kesetanan.
"Bu.. tolong aku.. Bu" desisnya membuat Surti
tambah panik.
"Bas, Bas! Kamu kenapa?" Surti bingung dan
berusaha melepaskan diri.
Tapi tenaga dan tubuhnya yang hanya setinggi
pundak Basuki tak mampu menahan ketika
perlahan namun pasti Basuki mendorongnya ke
kamar. Bahkan pergulatan mereka serta gesekan
dengan kulit dada Basuki membuat handuknya
terlepas dan sarung Basuki melorot. Surti
geragapan ketika tubuh bugilnya diangkat Basuki
ke atas ranjang dan digeluti.
"Bas! Bas! Gila kamu.. ini aku ibumu!" Surti terus
berontak sambil mendorong dan memukuli.
Namun Basuki terus menggelutinya.
"Bu tolong Bu, aku pingin sekali aku butuh." dan
sadarlah Surti bahwa saat itu Basuki sedang
dilanda birahi. Ia pasti pernah merasakan tubuh
wanita dan sekarang, setelah lama puasa, butuh
penyaluran.
"Apakah aku harus memenuhi hasratnya?" pikir
Surti cepat.
"Bas Bas jangan Ibu kau jadikan pelampiasan
Ugh" Surti tak menyelesaikan kata-katanya
karena putingnya dihisap keras sementara
tangan Basuki menggosok-gosok dan
memasukkan jemari ke vaginanya dengan
ganas. Mengaduk-aduknya. Surti tergerinjal,
nafsunya yang tadi belum dituntaskan Bari
kembali bangkit.
"Ah, kenapa lagi-lagi aku dinodai anakku?" jerit
hati Surti.
Tenaganya melemah.
"Bas egh jangan Bas," lemah suara Surti ketika
melihat zakar Basuki tegang panjang memerah
dengan urat-urat kehitaman di sekelilingnya.
"Aku tidak tahan lagi, Bu" Basuki menempatkan
pantatnya di antara paha Surti, mengarahkan
pedang tumpulnya ke lubang nikmat ibunya lalu.
"Sleepp sleep bless bless" Surti sampai terangkat
pantatnya ketika zakar panjang nan tegar milik
Basuki mencapai rahimnya dan menyentuh-
nyentuh pusat kenikmatannya. Kemudian
dengan cepat menusuk-nusuk dan
memompanya bertubi-tubi.
"Shh shh sudah Bas.. cukup stop Ibu nggak
tahan" bibir Surti bergumam menolak tapi entah
kenapa tangannya justru merangkul erat leher
Basuki dan membuka pahanya semakin lebar.
Basuki tak peduli, terus bergoyang dan bergerak
naik turun.
"Hshh hshh cukup Bas jangan kamu keluarkan
spermamu di dalam Ibu bisa hamil" Surti
semakin terhanyut oleh gerakan Basuki yang
jauh lebih lihai dibanding Bari.
Tanpa sadar ia mulai mengimbangi dengan
putaran pantatnya Basuki sendiri seperti tak
mendengar suara Surti dan benar saja beberapa
menit kemudian, dengan zakar tetap menancap,
tubuhnya mulai terkejang-kejang berkejat-kejat
lalu
"croott croott.." bersamaan dengan tekanan
pantat ke vagina ibunya sekeras-kerasnya
muncratlah sperma membanjiri rahim Surti.
Gilanya Surti justru menggapitkan pahanya erat-
erat ke pantat Basuki serta memeluk
punggungnya erat-erat dan maninya pun
mengalir deras. Basuki ejakulasi. Surti orgasme.
Bareng.
Sejurus kemudian dua tubuh layu yang
berpelukan erat itu saling melepaskan diri.
Terjelepak kelelahan, terbaring telentang. Dada
mereka naik turun ngos-ngosan. Masing-masing
dengan pikiran melayang-layang. Basuki dengan
kesadaran sudah menyetubuhi Ibu kandungnya
dengan nafsu sebagaimana ia dulu sering
salurkan ke wanita bayaran. Sementara Surti
sadar bahwa lagi-lagi ia telah bersetubuh dengan
anak kandungnya. Lagi-lagi ia jadi pelampiasan
nafsu anaknya. Tapi bukankah ia juga ikut
menikmati lampiasan nafsu itu? Malah seperti
membuka pintu kesempatan untuk terjadinya
seks incest itu?
"Kamu sudah puas, Bas?" tanya Surti berusaha
tegar, "kalau belum cepat lampiaskan lagi
hasratmu ke tubuh Ibumu ini biar tuntas sekalian
biar kamu tidak melamun yang tidak-tidak lagi"
entah keberanian dari mana Surti mengucapkan
tantangan ini.
Tentu saja Basuki terkejut. Perlahan ia
memiringkan tubuhnya dan dipandanginya
wajah wanita setengah baya yang adalah Ibu
kandungnya itu. Wanita yang tubuhnya bugil
telentang itu matanya terpejam. Mengingatkan
Basuki pada seorang wanita sebaya yang dulu
pertama kali merenggut perjakanya di rantau.
Ya, Basuki ingat benar bagaimana ia melepas
perjakanya di atas tubuh istri majikannya yang
kesepian karena sering ditinggal suaminya pergi
bisnis. Beberapa bulan mereka berhubungan.
Dan entah kenapa sejak itu Basuki selalu
menyukai berhubungan badan dengan wanita
yang lebih tua, baik wanita bayaran atau yang
sekedar cari teman bersebadan.
Kini, setelah berbulan-bulan puasa, Basuki tak
tahan untuk meletupkan hasrat syahwatnya.
Untuk mencari wanita bayaran ia tak lagi punya
modal, untuk mencari istri-istri kesepian tak lagi
semudah di kota besar dulu. Akhirnya diam-
diam ia memendam hasrat nafsu pada Surti,
yang semula ditahan-tahannya karena
bagaimanapun dia adalah Ibu kandungnya.
Namun bendungan itu jebol pagi ini ketika nafsu
telah merasuk sampai di ubun-ubun Basuki dan
kesempatan terbuka manakala rumah sepi dan
Surti seperti menantangnya dengan hanya
berbalut handuk. Sama seperti wanita yang dulu
memperjakainya juga hanya berbalut handuk
ketika menyeretnya ke ranjang nikmat.
Demi mendengar tantangan ibunya, percaya
nggak percaya Basuki mendekatkan wajah ke
muka Surti. Namun mata Surti terus terpejam,
seolah menanti aksi Basuki selanjutnya.
Pandangan Basuki menyapu seluruh wajah lalu
menurun ke payudara montok meski agak
kendor, perut yang masih langsing lalu bukit
rimbun di bawahnya yang masih tersisa lengket
cairan mereka tadi. Antara sadar dan tidak Basuki
menggerayangkan tangan ke sekujur tubuh
ibunya. Tubuh Surti jadi merinding. Digigitnya
bibir bawah, coba bertahan dari rangsangan itu.
Namun sulit sekali, terlebih manakala Basuki
dengan piawainya mulai menggunakan lidahnya
menggantikan tangan. Seperti lintah, lidah itu
bergerak menelusuri wajah, leher, payudara,
perut, pusar hingga akhirnya bermuara di
kerimbunan semak-semak lebat Surti.
Dikangkangkannya paha Surti lalu. dengan ganas
lidah Basuki menyapu, menelusup dan menjilat-
jilat liar lubang nikmat Surti. Menimbulkan
rangsangan hebat yang membuat Surti refleks
memegang kepala Basuki dan menekannya
seolah ingin memasukkan seluruhnya ke lubang
vaginanya.
Sekejap saja Surti telah orgasme dan sekejap itu
pula Basuki membersihkan seluruh mani yang
keluar dengan lidahnya, diminumnya. Lalu lidah
itu terus mengerjai vagina Surti, kadang kasar
kadang halus. Sampai beberapa menit kemudian
Surti kembali harus mengejan berkejat-kejat
mengeluarkan maninya lagi. Orgasme lagi. Lagi
dan lagi Entah sudah berapa kali Surti kelojotan
orgasme tapi Basuki tetap segar menggarap
lubang nikmat itu dengan lidahnya.
"Agh.. am.. ampun Bas cukup Ibu tak tahan lagi
Ibu lemes banget" desis Surti sambil terus
meremasi rambut kepala Basuki setelah
orgasmenya yang ketujuh atau delapan.
Tulangnya seperti dilolosi. Sementara lidah
Basuki masih mempermainkan klitnya,
menggigit-gigit kecil, menarik-nariknya. Ibu dan
anak sudah tak ingat lagi hubungan darah di
antara mereka. Yang penting gejolak nafsu
terpenuhi.
Surti tak mampu menggerakkan tubuh lagi ketika
Basuki merayapi tubuhnya lalu sekali lagi
menancapkan zakar tegarnya ke lubang vagina
Surti menggantikan lidahnya.
"Jangan keras-keras, Bas" pinta Surti yang
merasa ngilu di vaginanya. Rupanya Basuki tahu
itu dan ia menggerakkan pantatnya dengan
santai, tidak tergesa-gesa. Justru kini ia lebih
mementingkan pagutan bibir dan lidahnya
memasuki mulut Surti. Saling belit, saling sedot,
sambil tangannya meremas-remas gundukan
gunung kembar Surti hingga puting itu jadi
keras.
Sampai berjam-jam lamanya Basuki
memperlakukan ibunya seperti itu tanpa
sekalipun ia ejakulasi. Sementara Surti entah
sudah berapa belas kali orgasme, rasanya habis
seluruh maninya. Setelah hampir tiga jam,
Basuki berbisik, "Ak aku mau keluar, Bu"
"Jangan di dalam, Bas Ibu bisa hamil"
"Keluar di luar tidak enak, Bu" Basuki
meneruskan genjotannya.
Cepat, cepat dan semakin cepat. Surti ikut
terlonjak-lonjak mengikuti irama tarikan zakar
Basuki. Tak mampu menolak kemauannya
sampai akhirnya Basuki kejang-kejang sambil
menyemprotkan sperma berliter-liter. "Creett..
Cruutt.." belasan kali bagai air bah. Lalu tubuh
kekar itu diam menelungkupi Surti tanpa
mengeluarkan zakarnya dari vagina. Denyut-
denyutnya masih dirasakan Surti. Gila benar ini
anak bisa tahan sedemikian lama.
Kelelahan membuat mereka tidur berpelukan.
Surti tak ingat lagi untuk pergi ke pasar. Sudah
terlalu siang setelah empat jam pergumulan tadi.
Justru yang terbayang kini adalah kejadian yang
bakal dilaluinya di hari-hari berikut, yakni harus
melayani kebutuhan seks si sulung dan bungsu
bergantian. Si bungsu di malam hari, dan si
sulung di siang hari. Mereka tidak boleh saling
tahu.
Namun, bagaimana dengan Banu, anak kedua.
Apakah ia juga akan minta jatah untuk
menyetubuhinya? Kuatkah Surti menghadapi tiga
"pejantan" ini setiap hari? Bagaimana kalau suatu
ketika ia digarap mereka bertiga ramai-ramai?
Atau sepanjang hari digilir mereka? Surti tak
mampu membayangkan itu semua.


Adult | GO HOME | Exit
1/1610
U-ON

inc Powered by Xtgem.com